Di Rumah sederhana yang nampak begitu asri, di Desa Kopandakan 1, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, nampak seorang ibu sedang duduk menyisir rambut anaknya. Di sampingnya, terlihat dua lelaki yang lagi sibuk memperbaiki mesin pangkas rumput.
Rumah itu adalah milik keluarga Lii-Sumuruk yang pada tahun 2021, pernah dilanda kecemasan luar biasa saat satu dari ketiga anak mereka didiagnosis mengidap Rubella, atau yang dikenal dengan Campak Jerman.
Rubella adalah penyakit menular yang terjadi akibat infeksi virus. Kondisi ini memiliki nama lain campak jerman, yang biasanya menyerang anak-anak dan remaja. Ini merupakan penyakit yang berbeda dari campak, tetapi mereka memiliki kesamaan gejala, yakni muncul ruam kemerahan pada kulit.
Selain anak-anak dan remaja, wanita hamil dengan usia kandungan trimester 1 sampai trimester 2, juga harus mewaspadai paparan virus ini. Pasalnya, penyakit ini bisa berpotensi menimbulkan sindrom rubella kongenital yang bisa berdampak pada bayi setelah kelahiran, bahkan bisa menyebabkan keguguran. Rubella ini merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi MR (Measles Rubella).
Dari Demam Biasa Menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Saat pulang sekolah Naysila Lii (13) salah satu pasien yang dinyatakan positif Rubella pada Desember 2021, nampak tidak seperti biasanya. Ia terlihat murung, tidak bersemangat. Sebagai seoarang ibu, hal tidak biasa itu tentu menimbulkan tanya. “Kenapa Nay, apa ada masalah di sekolah ?,” kata ibunya, Nona Sumuruk kepada matapena.news Kamis 10 Juli 2025, yang kembali menceritakan kronologi kejadian saat anaknya Naysila Lii terpapar Rubella.

Setelah berganti pakaian, kata Nona, anaknya Nay (Sapaan akrab Naysilla Lii) mengeluh tidak enak badan, demam. Mendengar keluhan anaknya, Nona langsung memberikan obat penurun panas. Namun obat itu tidak memberikan reaksi yang cukup baik. Suhu badan Naysila tetap panas, sudah disertai ruam dan bintik merah di tangannya.
Melihat kondisi Naysila, Nona berinisiatif langsung membawa anaknya ke Puskesmas Motoboi kecil untuk memeriksakan kondisi Naysila. “Waktu saya, dan Naysila berada di Puskesmas Motoboi Kecil, dokter mengambil sampel darah Nay untuk diperiksa apakah dia mengidap malaria atau Demam berdarah. Tapi hasilnya, negatif,” kata Nona.
Setelah mendapatkan obat dari dokter yang menangani Nay, katanya, ia dan Nay langsung bergegas pulang ke rumah. Sore harinya, Nona tiba-tiba menerima telepon dari perawat di Puskesmas Motoboi Kecil yang meminta izin kembali mengambil sampel darah Naysila untuk diperiksa.
“Kaget, dan takut. Ada apa ini, kenapa Nay harus diambil sampel darah lagi. Tapi untuk alasan kesehatan dan keselamatan anak saya, saya mengiyakan permintaan suster yang menelepon,” ujar Nona.
Sejak Naysila mengalami demam tinggi, kata Nona, dua anaknya yang lain yakni, kakaknya Nay, Pristadita Lii, dan adiknya Velli Valensia Lii, juga mengalami hal serupa. Keesokan harinya setelah Nay diperiksa di Puskesmas Motoboi Kecil, rumah keluarga Lii-Sumuruk dikunjungi tim surveilans dari Dinas Kesehatan untuk diambil sampel darah.
“Yang diambil sampel darah waktu itu, bukan hanya Nay saja, tapi kakak dan adiknya juga diambil sampel darah untuk diperiksa,” ucap Nona.
“Saya pikir itu hanya demam biasa saja. Zaman dulukan juga sering ada penyakit begitu, demam dan ruam merah disertai bintik-bintik seperti cacar air,” kata Nona lagi.
Setelah sampel darah diambil, Nona mendapatkan kabar dari Puskesmas bahwa dari ketiga anaknya yang diperiksa, hanya Naysilla yang dinyatakan positif rubella. Nona bercerita, seingatnya ketiga anaknya waktu bayi mendapatkan imunisasi, namun untuk campak rubella, khusus untuk Naysilla ia lupa berapa kali divaksin waktu kecil.
“Saya lupa Naysila ini mendapatkan imunisasi campak rubella berapa kali, seingat saya mereka mendapatkan imunisasi tapi detail jenisnya saya sudah tidak ingat,” katanya.
Duduk berdampingan dengan ibunya, putri kesayangan Hartono Lii, Naysila menceritakan kisahnya waktu virus rubella menyerangnya. Selain demam tinggi, Nay mengaku timbul bintik merah di jari tangannya. Ketika ia berkeringat, bintik merah dan ruam itu semakin banyak.
“Rasanya gatal dan perih, apalagi kalau berkeringat,” kata Naysila sembari menunjukkan bekas bintik merah tepat dibagian bawah mata putri kedua Lii-Sumuruk yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 3 SMA.
Gerak Cepat Dinkes Tangani KLB
Setelah ditetapkan KLB Rubella pada Desember 2021, Dinas kesehatan Kota Kotamobagu gerak cepat melalukan langkah antisipatif penyebaran wabah rubella khususnya di Kecamatan Kotamobagu Selatan. Kepala Sub Koordinator Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Kotamobagu, Hariyanti Sutarjo SKM kepada wartawan Matapena.news mengatakan, pada hari Kamis 25 November 2021, Dinkes Kotamobagu mendapat pemberitahuan dari Poliklinik Puskesmas Motoboi Kecil bahwa, terdapat pasien dengan keluhan panas tinggi disertai ruam merah diwajah dan badan.
Petugas surveilans langsung turun memeriksa dan mengambil sampel darah untuk diperiksa. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang dikirimkan ke Balai besar Laboratorium kesehatan Surabaya, 2 pasien dinyatakan positif rubella pada 6 Desember 2021, salah satunya Naysilla Lii (13).
Setelah mendapatkan hasil pemeriksaan sampel darah tersebut, kata Hariyanti, tim Dinas Kesehatan dan Puskesmas Motoboi kecil langsung turun lapangan melakukan investigasi untuk mengidentifikasi sumber infeksi, mencari tahu status imunisasi penderita, dan mengumpulkan data terkait penyebaran kasus.
“Dari hasil investigasi yang dilakukan, imunisasi penderita tidak bisa dibuktikan apakah mendapatkan imunisasi campak rubella pada usia 9 bulan dan 18 bulan atau tidak, karena waktu itu buku KIA Naysila sudah hilang, dan dari pencarian data yang dilakukan juga tidak ada informasi lengkap yang diperoleh soal imunisasi si anak,” ujar Hariyanti saat ditemui di ruang kerjanya, Senin 7 Juli 2025.
“Naysila waktu itu, selain diberi obat, juga diberikan suplemen vitamin A untuk mengurangi komplikasi,” kata Hariyanti.
Setelah memberikan penanganan kepada pasien positif, tim Dinas Kesehatan melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di wilayah Kecamatan Kotamobagu selatan. Sasaran imunisasi adalah anak-anak usia tertentu, seperti bayi 9 bulan hingga anak berusia 16 tahun. “ORI ini menyasar Posyandu, SD, SMP, dan SMA,” tutur Hariyanti.
Selain melakukan ORI tim Dinkes dan Puskesmas Motoboi Kecil juga melakukan tracking di lingkungan sekitar penderita untuk mengambil sampel darah orang-orang yang kontak dengan penderita rubella. “Saat melalukan imunisasi massal, petugas kesehatan juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya imunisasi dan cara mencegah penularan rubella. Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai penularan virus rubella,” tutur wanita yang akrab disapa Yanti ini.
Yanti mengakui, capaian imunisasi MR pada kurun waktu 2018-2020 tidak mencapai target Nasional. Sejak 2018-2021, angka capaian imunisasi MR di Kotamobagu dibawah 60 persen. Capaian ini, mulai naik sejak terjadi KLB pada tahun 2021 sampai 2023, namun kembali mengalami penurunan pada 2024 (Selengkapnya, lihat grafis).
Penurunan yang terjadi ditahun 2024, kata Yanti, cukup signifikan. Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan capaian imunisasi ini, salah satunya berita-berita viral soal dampak negatif imunisasi, dan terjadi kekosongan vaksin kurang lebih 3 bulan. “Informasi-informasi yang diupdate di media sosial soal kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), sangat mempengaruhi masyarakat untuk tidak membawa anak mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan. Ketika ada berita viral soal dampak negatif imunisasi, ini akan disebar, dan itu sangat berpengaruh,” kata Yanti.
Soal kekosongan vaksin, kata Yanti, mungkin tidak begitu berdampak pada cakupan imunisasi, karena setelah stok vaksin tersedia, vaksin langsung didistribusikan. “Jadi bayi yang belum diimunisasi waktu itu karena kekosongan vaksin, dilakukan imunisasi kejar. Yang jadi kendala, ketika petugas kesehatan datang langsung ke rumah warga untuk memberikan imunisasi kepada anak mereka, tapi ditolak. Mereka tidak mengizinkan anak meraka disuntik. Petugas kesehatan tidak bisa bertindak lebih,” tutur Yanti.
Meski demikian, Dinkes Kotamobagu tidak patah semangat. Mereka rutin menyosialisasikan vaksin MR ini baik melalui mobil puskesmas keliling, pengeras suara di Balai desa, dan tempat-tempat ibadah. Hal itu bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan meningkatkan kembali kesadaran masyarakat soal pentingnya imunisasi dasar lengkap kepada bayi dan balita, serta menepis isu-isu negatif yang berkembang.

Ibu dua anak ini menuturkan, imunisasi ini sebenarnya bukan hanya tanggungjawab Dinas Kesehatan saja, namun dibutuhkan koordinasi dan kerja sama lintas sektor agar capaian imunisasi di Kotamobagu bisa meningkat setiap tahunnya. Banyak kendala yang ditemui di lapangan. Mungkin akan lebih efektif lagi pemberian vaksin ini jika dilakukan secara bersama-sama.
“Misalnya, melibatkan secara aktif pemerintah desa, dan upaya kampanye yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan bekerjasama dengan tokoh-tokoh agama. Karena masih ada juga penolakan imunisasi ini karena alasan halal-haramnya kandungan vaksin. Kalau itu harus orang yang berkompeten, kita harus menggandeng tokoh agama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat soal imunisasi MR ini,” kata Yanti.
Imunisasi MR Terhambat, Dinkes Gagas Progam Ketuk Pintu
Belajar dari pengalaman kasus KLB pada tahun 2021 lalu, Dinas kesehatan Kota Kotamobagu melalukan upaya-upaya peningkatan cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) di Kota Kotamobagu. Tidak hanya menunggu masyarakat di Posyandu maupun di Puskesmas, Dinkes langsung turun ke rumah-rumah warga yang terdata belum diimunisasi melalui program Ketuk pintu.
Edukasi dan sosialisasi memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya imunisasi dan cara mencegah penularan rubella, aktif dilakukan. Selain itu, penguatan surveilans untuk memantau dan mendeteksi kasus baru secara dini serta memastikan pelaporan yang akurat juga dilakukan, serta intens berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Rumah Sakit, Puskesmas, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam penanggulangan KLB.

Untuk mendeteksi sedini mungkin Rubella di Kotamobagu, Hariyanti menjelaskan, saat ini pihaknya rutin melakukan pemeriksaan serologi tes darah kepada penderita terduga campak rubella yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Pemeriksaan klinis lebih diperketat pada layanan puskesmas, seperti pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening.
“Itu langkah awal yang dilakukan untuk mendiagnosis rubella. Karena ruam rubella mirip dengan penyakit lain, sehingga perlu konfirmasi melalui tes laboratorium. Oleh sebab itu, pasien terduga rubella, langsung diambil sampel darah untuk dikirimkan ke Laboratorium,” kata Hariyanti.
Selain itu, upaya pencegahan melalui imunisasi MR untuk anak-anak usia 9 bulan, 18 bulan dan usia sekolah juga rutin dilakukan meskipun masih banyak tantangan dan kendala yang ditemui di lapangan. Saat ini untuk meningkatkan capaian imunisasi, Dinkes bekerja sama dengan pemerintah Kota Kotamobagu sampai ke tingkatan desa untuk menjaring dan melacak anak-anak yang belum lengkap imunisasi dasar agar bisa dilakukan imunisasi kejar. Ini adalah bentuk upaya memutus rantai penularan jika terjadi rubella atau penyakit yang dapat disebabkan oleh imunisasi.
Tidak hanya menyasar bayi dan anak usia sekolah saja, upaya pencegahan juga dilakukan kepada ibu hamil, dengan melakukan pemeriksaan Prenatal, jika terdiagnosis rubella, akan dianjurkan pemeriksaan lanjutan seperti USG dan Amniodentesis untuk mendeteksi kelainan pada janin.
“Sampai saat ini petugas kesehatan masih rutin melakukan penyuluhan dan edukasi untuk menipis berbagai stigma yang berkembang di tengah masyarakat tentang imunisasi ini,” tuturnya.
Selain upaya-upaya pencegahan secara teknis dan peningkatan target capaian imunisasi, Dinkes juga akan mengajukan regulasi ke pimpinan daerah agar kedepannya jika anak akan masuk Pendidikan Sekolah wajib memberikan surat keterangan atau Buku KIA anak lengkap Imunisasi sehingga kejadian KLB campak Rubella di Kota Kotamobagu tidak akan terulang lagi,dilihat dari capaian Imunisasi Kota Kotamobagu dari tahun ke tahun tidak pernah mencapai target Nasional.
Ia menambahkan, selain melakukan edukasi dan penyuluhan secara langsung, Dinkes juga rutin mengampanyekan imunisasi melalui akun Facebook Dinkes Kotamobagu dan Ig dinkeskotamobagu.
Jurim Berperang Melawan Hoaks
Capaian imunisasi di Kota Kotamobagu tidak lepas dari perjuangan para juru imunisasi (Jurim) yang bertugas di Posyandu maupun Puskesmas. Endo Regoh salah satu mantan Jurim di Kecamatan Kotamobagu Selatan bercerita, sejak tahun 2018 sampai 2021, banyak suka duka yang mereka temui saat bertugas. Tidak sedikit masyarakat yang masih menolak anaknya diimunisasi. Selain harus menghadapi penolakan warga, jurim juga harus berperang melawan hoaks yang tersebar di media sosial.
Endo mengatakan, era digitalisasi saat ini ada banyak kemudahan yang bisa didapatkan namun tidak sedikit juga hal negatif lahir dari media sosial, contohnya soal imunisasi. Efektifnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit, kandungan vaksin, dan KIPI (Kejadian ikutan pasca imunisasi) berseliweran di media sosial.

Menurut Endo, upaya pemberian imunisasi dasar lengkap dan lanjutan kepada masyarakat sudah cukup optimal dilakukan mulai dari pemberian imunisasi di Posyandu dan Puskesmas, serta melalui program BIAS (Bulan imunisasi anak sekolah). Namun tidak bisa dipungkiri hoaks dengan berbagai narasi soal imunisasi ini, juga masih menjadi konsumsi gurih masyarakat saat ini.
“Pengalaman saya waktu masih menjadi jurim, ada masyarakat yang menolak dengan alasan takut KIPI, ada juga yang menolak karena soal halal-haram vaksin. Yah, saya selaku tenaga medis hanya mampu menjelaskan, mengedukasi masyarakat sesuai bidang saya, kesehatan. Selebihnya mungkin ada yang lebih berkompeten untuk membahas soal halal atau haram imunisasi itu,” kata Endo, Selasa 24 Juni 2025.
Apa Kata MUI Soal Imunisasi MR
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Kotamobagu Mohamad Sahran Noor Gonibala saat ditemui di ruang kerjanya, Senin 30 Juni 2025 mengatakan, kandungan vaksin baik itu vaksin covid, imunisasi MR dan juga meningitis, serta jenis-jenis vaksin lainnya, sampai saat ini masih diributkan soal kehalalalnya.
MUI Kotamobagu katanya, tetap mengacu pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pusat, termasuk soal imunisasi ini. Sejauh ini, vaksin hukumnya mubah, dilakukan boleh, tidak dilakukan juga boleh. Edukasi tentang vaksin ini tentu perlu dilakukan, agar masyarakat tidak mudah termakan dengan narasi-narasi negatif yang tidak berdasar. Semua harus dikaji, apa manfaatnya dan apa ruginya.

Ia menjelaskan, ada ayat alquran yang secara eksplisit melarang seseorang membiarkan dirinya binasa atau celaka. Itu dijelaskan dalam QS.Al-Baqarah ayat 195. “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.
Ayat ini menekankan pentingnya menjaga diri dari hal-hal yang dapat membawa pada kehancuran atau kebinasaan. “Nah, kalau dengan imunisasi atau vaksin kita dapat terhindar dari wabah penyakit yang membawa kebinasaan pada diri kita dan orang lain, mengapa tidak kita lakukan. Ada hal-hal yang harus dicermati secara rasional,” kata Sahran.
“Saya pribadi sejak Covid-19 mewabah hampir diseluruh dunia, saya memilih untuk divaksin sampai ke tahap ke empat. Kenapa ?, karena saya tidak ingin membiarkan diri saya binasa. Dengan vaksin, kita bisa terlindungi dari paparan Covid-19, begitu juga dengan virus-virus penyakit lainnya,” kata Sahran.
“Vaksinasi atau imunisasi menurut saya adalah upaya saya untuk melindungi diri dari penularan penyakit. Memang, soal vaksin dan imunisasi ini tidak bisa dipaksakan. Namun, perlu kita cermati bahwa kita manusia juga harus berupaya agar kita terhindar dari penyakit, apalagi untuk bayi dan anak-anak,” katanya lagi.
Pakar Epidemoligi: Imunisasi Terhambat, KLB Mengintai
Capaian imunisasi rendah disatu daerah sangat berpotensi mewabahnya virus-virus penyakit. Belajar dari sejarah, zaman dulu, ada beberapa penyakit seperti cacar air, campak atau lebih familiar di masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) dengan sebutan Sarampa, itu sangat mewabah. Ketika ada satu anggota keluarga yang terkena virus ini, penyebarannya tidak terkendali. Semua yang kontak dengan penderita berpotensi tertular. Setelah imunisasi dasar lengkap mulai digalakkan waktu zaman orde lama, berangsur penyebaran virus ini mulai bisa diatasi.
Imunisasi itu dilakukan bertujuan untuk membentuk Herd immunity atau kekebalan kawanan adalah suatu bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap infeksi sebelumnya, sehingga individu yang tidak kebal ikut terlindungi.
Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mencapai herd immunity yaitu, melalui infeksi alami dan melalui vaksinasi atau imunisasi. Infeksi alami memang bisa memberikan kekebalan, tetapi dengan risiko penyakit yang serius, komplikasi, bahkan kematian. Sedangkan Vaksinasi, disisi lain, memberikan kekebalan tanpa risiko penyakit.
Saat ini harus diakui, ada banyak kendala dan tantangan dari tenaga kesehatan untuk mencapai target imunisasi dasar lengkap disatu daerah. Masih banyak stigma masyarakat yang berkembang, soal imunisasi MR ini. Mulai dari anekdotal, kakek nenek zaman dahulu yang tidak divaksin tapi tetap sehat, bahkan berumur panjang, yang dijadikan contoh sebagian masyarakat anti vaksin. Belum lagi, narasi-narasi yang hadir di media sosial yang langsung dicerna tanpa dicermati dulu faktanya seperti apa, disusul dengan KIPI, dan kandungan vaksin.
Hal Itu adalah tantangan besar, PR pemerintah saat ini. “Bagaimana Indonesia emas akan tercapai, kalau imunisasi saja capaiannya masih dibawah rata-rata,” kata Pakar Epidemologi Sulawesi Utara, Jonesius Eden Manoppo, Selasa 1 Juli 2025.

Jonesius mengatakan, orang yang terpapar virus akan menjadi carrier atau pembawa virus bagi orang lain. Penyakit-penyakit seperti campak rubella, difteri, pertusis, tetanus, polio, hepatitis B, pneumonia, meningitis, dan influenza, adalah beberapa penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi.
Oleh sebab itu, imunisasi MR ini penting untuk dilakukan sebagai upaya melindungi anak-anak dari penyakit campak rubella. Dengan imunisasi bukan hanya bisa melindungi individu, tetapi juga membantu mencapai herd immunity yang penting untuk mencegah wabah penyakit di masyarakat.
Dengan cakupan imunisasi diatas delapan puluh persen, dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit dan melindungi mereka yang rentan, seperti bayi yang belum mendapatkan imunisasi lengkap atau individu dengan sistem imun yang lemah.
“Kalau capaian imunisasi rendah, apalagi daerah yang pernah ada kasus KLB, itu berisiko dan tidak menutup kemungkinan kasus serupa bisa kembali terjadi,” tutup Manoppo. ***
Penulis: Febby Manoppo